Friday, May 16, 2008

speak Up


adalah sebuah kegembiraan yang sangat bagi seorang ibu ketika mendengar anaknya bisa berkata bapak,atau ibu....
bapa....bu...bu....
mungkin masih sdikit terbata--tapi mendengarnya terasa hegh...

dan, malam itu pun kami merasa seperti ibu tadi...
bapak-bapak peserta pelatihan mau mencoba berkomunikasi dengan Adam dan Meidi....
Betapa!

mata api


ini adalah malam dimana barat dan timur bertemu

membuka sebuah percakapan

lewat apa yang mereka bisa

dan punya


sebuah malam percakapan,

dimana segala ransel para peserta pelatihan yang telah diisi degala beras, minyak, mi instant, tempe kedelai, kopi, dan gula, dibuka dan dihidupkanlah kompor unruk meracik segala yang ada..

menjadi sebuah hidangan yang enak,,enak...dimakan...

English for a better life? Yes yes yes!!!!

Tuesday, May 13, 2008

Masih Ada Becak di Jogja


Oleh Zen Rahmat Sugito

Foto oleh Dwi Oblo

Ia biasa dipanggil John Tatto. Di dada kirinya terpacak tato bergambar donald bebek. Di lengan kanannya ada tato yang mulai kabur, tetapi masih cukup jelas menampakkan tiga huruf: PAS. "Singkatan Perkumpulan Anak Pasar," katanya.
Kami duduk di bangku panjang di trotoar depan Gedung Agung di ujung Malioboro, jalan yang membelah kawasan perbelanjaan yang menjadi salah satu ikon Yogyakarta. Tangan kanannya menggenggam sebotol AO, sebutan untuk satu merk minuman beralkohol. Saya menyimak semua geraknya: tangan kiri memegang botol dengan bagian bawah menghadap ke atas, lalu telapak tangan kanannya memukul pantat botol, prak.... Sejurus kemudian, tutup botol dengan mudah dibuka hanya dengan mengulirnya. Dia menuang isi botol ke gelas kecil hingga penuh. Ia menyodorkannya pada saya seraya berujar: "Harus habis!"

Sosok John sudah saya kenal sejak hari pertama menginjakkan kaki di Malioboro. Dia tukang becak dengan riwayat hidup menarik. Ia datang ke Jogja (nama lain yang lebih popular bagi warga Yogyakarta untuk menyebut kota itu) pada 1994 berbekal keahlian membuat tato. John adalah satu dari sedikit seniman tato di Malioboro yang bisa membuat tato permanen. Ia mengaku pernah menato artis Kiki Fatmala.
Setahun terakhir, John mulai menarik becak. Ia tergabung dalam paguyuban becak Benteng Vredeburg. Becak miliknya ia beli Rp. 600.ooo. "Belakangan saya lebih banyak dapat pemasukan dari mbecak ketimbang tato," lanjutnya.

John tinggal bersama istri dan seorang anaknya di jalan Godean. Ia pulang ke rumah mengendarai sepeda motor Suzuki Shogun. Terakhir saya melihatnya ia sedang menjajal telepon genggam motorolla seri C26i yang baru dibeli dari temannya.
John tak sendiri. Selama seminggu lebih menelusuri Malioboro dan bertemu dengan puluhan tukang becak, saya sering menemukan tukang becak sedang sibuk memainkan handphone. Acara minum-minum yang dilakukan John dan teman-temannya dari Benteng Vredeburg juga sering dilakukan tukang becak lainnya. Rujito, tukang becak yang mangkal di gerbang selatan Hotel Inna Garuda, sering minum-minum di dekat Pasar Kembang bersama beberapa temannya selepas menarik becak. Ia tak pernah kehabisan pulsa. Sms-sms saya selalu dibalasnya. Jika saya terlambat membalas smsnya, ia dengan sigap menelpon saya.

Giman, ketua paguyuban becak Pendopo Bringharjo yang mangkal di pintu belakang Bringharjo, mengisahkan bagaimana ia sering minum bersama teman-temannya, baik tukang becak, calo pasar maupun kuli angkut. Mereka bisa berangkat bersamaan, masing-masing membawa becaknya, beriringan mereka menuju tempat minum di sebelah barat Malioboro. Giman kini mengaku jarang menenggak minuman keras.
Tukang becak seperti Rujito atau John Tatto ini seperti menjadi antinomi dari stereotip yang sering dilekatkan pada tukang becak sebagai simbol kemelaratan, kemiskinan dan hidup yang mengenaskan. Nasib tukang becak di Indonesia sering digambarkan sama menyesakkannya dengan nasib Ram Chandler atau Hasari Pal, dua penarik angkong dari Calcutta dalam novel "City of Joy" karya Dominic Lapiere.

Tukang becak di Jogja juga dilekati stereotip lain: pasrah, nrimo, ikhlas, tak banyak menuntut apa yang memang tidak diberikan hidup; gambaran yang kadang saya pikir terasa komikal jika tidak lebih mirip pemerian pribadi seorang sufi. Buku "Waton Urip" (yang teksnya dikerjakan Sindhunata, fotografinya disediakan Agus Leondardus dan desainnya digarap seniman Hary "Ong" Wahyu) dipenuhi stereotipikal macam ini.

"Becak di Jogja suatu saat hanya ada di objek wisata dan untuk memenuhi kebutuhan wisata. Seperti di Malaka, tukang becaknya necis-necis dan becaknya dihias. Kita berharap lama kelamaan becak tak lagi jadi jadi alat transportasi yang mengangkut beban yang berat-berat. Eksploitasi tidak akan terjadi lagi. Becak akan makin dekat turisme bukan dengan trade yang mangkalnya di pasar Bringharjo," kata Tazbir SH. M.Hum., Kepala Dinas Pariwisata Daerah Provinsi Yogyakarta.

Jika benar demikian, Malioboro dan kawasan di sekitarnya pastilah menjadi benteng terakhir bagi becak-becak di Jogja. Kawasan inilah yang menjadi tempat utama mangkalnya "becak wisata". Istilah ini merujuk pada becak-becak yang pasar utamanya para wisatawan.

Inilah yang membuat becak di Malioboro tumbuh menjadi "spesies" tersendiri. Mereka lebih mampu bertahan ketimbang tukang becak yang biasa mangkal di pasar-pasar tradisional atau mulut-mulut gang. Jumlah becak di Malioboro relatif stabil dari tahun ke tahun. Mereka pernah menikmati penghasilan melimpah sewaktu turis asing mulai berdatangan ke Jogja semenjak awal dekade 1980-an hingga akhir 1990-an.

"Pada masa itu, kalau sedikit pun tidak bisa bahasa Inggris, susah dapat penghasilan besar, Mas," terang Pak Kardi (63), tukang becak dari Imogiri yang sering mangkal dekat Kantor Pos Besar. Pak Kardi mengaku belajar bahasa Inggris secara otodidak melalui kamus.

Kardi bisa diajukan sebagai contoh bagaimana tukang becak mampu mengais rezeki dari orang-orang asing yang datang ke Jogja. Saya melihatnya pertama kali di depan Pos Polisi di perempatan Kantor Pos Besar. Saya penasaran dengan tulisan yang terpampang di samping becak Pak Kardi. Di sana tertulis: "Joox Melger" dan "Utrecht", nama kota di Belanda.

"Juragan sampeyan orang Londo, ya, Pak? Kok namanya Belanda?"
"Lha, iya. Dia yang ngasih saya becak."

Pak Kardi bertemu dengan Joox Melger persis di tempat saya pertama kali melihat Pak Kardi. Peristiwa itu berlangsung sekitar 1992. Tahun itu dikenang oleh beberapa tukang becak di Malioboro sebagai puncak kedatangan turisn asing. Tahun itu pemerintah Indonesia memang menggelar program Visit Indonesia Year 1992.

Joox berada di Indonesia untuk melakukan penelitian di Universitas Gadjah Mada. Selama enam bulan, Pak Kardi selalu mengantar Joox ke mana pun ia pergi. Setahun kemudian Joox berlibur kembali ke Jogja bersama ayahnya, Frank Melger, yang penasaran dengan cerita anaknya mengenai Pak Kardi. Sejak itu, tiap kali datang ke Jogja, keduanya selalu ditemani Pak Kardi.

Dari bantuan Joox ini pula Pak Kardi bisa membangun rumah yang ia tinggali bersama istri dan 7 anaknya. Uang dikirim melalui ATM yang dikeluarkan Postbank. ATM atas nama Joox Melger itu dikirimkan ke Jogja untuk dijadikan pegangan Pak Kardi. Joox sering mengirimi Pak Kardi uang dengan besaran yang beragam. Kolega Joox yang berkunjung ke Jogja juga sering ditemani Pak Kardi. Mereka biasa membayar ongkos melalui ATM tersebut.

Joox ini pula yang mengajari Pak Kardi cara menggunakan e-mail. Sewaktu Jogja diguncang gempa pada Mei 2o06, inbox e-mail Pak Kardi dipenuhi surat dari beberapa kenalannya di luar negeri yang menanyakan kabar Pak Kardi sekeluarga. Dari mereka pula Pak Kardi mendapat bantuan dana untuk merehab rumahnya yang rusak.

Pak Kardi beruntung sempat mengalami masa-masa booming kedatangan turis asing. Dia bisa meraup rezeki yang tidak sedikit. Pak Kardi tak seorang diri. Hampir semua tukang becak juga menikmati rezeki yang cukup berlimpah pada periode itu juga dari segi meraup rezeki berlimpah atas kedekatan dengan turis asing yang terkesan dengan pelayanan mereka.

Wito (43), bendahara paguyuban becak Mulia Bumi Artha, kenal baik dengan turis asal Australia bernama Peter Horizon. Selama dua tahun, Wito sering dimintai tolong menjadi koordinator pemandu wisata pada rombongan turis yang dibawa Peter. Sekali perjalanan, becak-becak yang dikerahkan Wito menerima bayaran paling sedikit Rp 50.ooo, belum terhitung tips. Wito sering menanggung laba jutaan dari penjualan kamus Inggris-Indonesia bajakan yang diperolehnya dari Shopping Center. Kamus yang harganya sekitar Rp 50.000 ia jual sekitar Rp 100.ooo. Untuk itu, Wito pernah menangguk uang Rp 5 juta.

Tapi itu dulu. Sekarang, jumlah turis asing merosot drastis. Banyak tukang becak yang bahkan sudah lupa persisnya kapan terakhir kali membawa turis asing. Data Dinas Pariwisata Daerah Provinsi Yogyakarta pada 2006 menunjukkan jumlah turis asing di Jogja hanya sekitar 10 persen (103.224 orang) dari total turis domestik (1.146.197 orang).

Bergesernya orientasi para tukang becak pada turis domestik mungkin membuat tukang becak susah bisa mendapat pengalaman seperti Pak Kardi atau Wito. Namun, bukan berarti sama sekali tak ada penghasilan tambahan. Tips yang diberikan toko-toko menjadi harapan selanjutnya.
"Tapi betul mau belanja?" John Tatto selalu mengajukan pertanyaan itu jika berhadapan dengan penumpang yang menawar ongkos. Jika jawabannya "ya", tidak jarang John dan para tukang becak di Malioboro bersedia hanya dibayar 1-2 ribu perak. Apa pasal?

Kepastian bahwa calon penumpang akan belanja oleh-oleh yang dicari para tukang becak di Malioboro. Dari oleh-oleh yang dibeli para penumpang itulah para tukang becak bisa berharap menangguk tips yang jumlahnya bisa berlipat-lipat dibandingkan ongkos naik becak.

Toko kaos khas Jogja, Dagadu, rata-rata mengajukan besaran angka 25 persen dari total uang yang dibelanjakan. Besaran angka yang sama saya dengar dari toko-toko yang menjual batik. Sementara studio-studio lukis di seputaran Taman Sari bahkan memberi tips dengan besaran angka 50 persen dari total harga yang dibelanjakan.

Outlet-outlet bakpia memberikan tips yang sedikit beragam, antara 3-4 ribu rupiah per dus. Harga termurah bakpia per sekitar 15 ribu dan termahal sekitar 25 ribu rupiah. Rata-rata setiap pembeli yang datang ke outlet Bakpia "25" membeli minimal 4 dus. Ini artinya dari setiap penumpang tukang becak rata-rata bisa membawa pulang tips sebesar 16 ribu rupiah per penumpang.

Inilah yang menyebabkan tukang becak di Malioboro bersedia memberi ongkos becak yang murah dan bahkan bersedia menarik tiga hingga empat penumpang sekaligus jika yakin para calon penumpang tersebut memang hendak berbelanja cukup banyak. Mereka mesti pandai berpromosi, mencoba membangkitkan minat penumpang untuk membeli sebanyak mungkin barang dan oleh-oleh.

Jika sedang beruntung, tukang becak bisa meraup uang ratusan ribu rupiah sekali tarikan. John Tatto, misalnya, mengaku pernah meraup uang 300 ribu rupiah dalam sehari. Modasir, ketua paguyuban Mulia Bumi Artha mengaku pernah mendapat tips dengan besaran yang kurang lebih sama. Kismowiyono, tukang becak yang lain pernah mendapat tips hingga Rp 500.000.

Semua itu belum seberapa. Slamet, ketua paguyuban becak Benteng Vredeburg, mengaku pernah mendapat tips 2,5 juta rupiah ketika mengantar Bupati Bojonegoro yang memborong kaos dagadu dan batik sutra. Tips dari toko dagadu mencapai sekitar 780 ribu rupiah. Dari outlet batik sutra ia mendapat tips sebesar 1,8 juta rupiah. Sebanyak Rp 5oo.000 ia bagikan kepada teman-temannya. Slamet memang butuh uang lebih besar. Ia punya tujuh anak dari dua orang istri. Istri keduanya punya darah Kraton. "Ada garis keturunan dari Pangeran Diponegoro," katanya bangga.

Gandung, tukang becak yang siang hari lebih banyak kongkow-kongkow dengan para seniman di bekas kampus Akademi Seni Rupa di Gampingan (1,5 kilometer dari Malioboro), bahkan mengaku pernah mendapat uang tips sebesar 4 juta dalam dua kali membawa penumpang.

Kini Gandung mencoba satu terobosan selain mengharap tips besar dari toko-toko. Ia tahu banyak galeri-galeri dan studio lukis seniman-seniman Jogja seperti Heri Dono, Arahmaiani hingga pegiat komik dan mural Samuel Indratma sebaik ia mengenal Malioboro.

Barangkali Gandung menjadi satu-satunya tukang becak yang mengiklankan diri di internet. Coba ketik "Gandung Jogja Art Trip" di mesin pencari, sosok Gandung akan diperkenalkan sebagai tukang becak yang siap mengantar penumpang yang berminat mengunjungi museum, galeri dan studio lukis di wilayah Kota Jogja.

Teman-temannya yang seniman, terutama Samuel Indratma, menjadi otak dari kampanye "Gandung Jogja Art Trip". Mulanya kampanye dimulai di milis yang banyak diikuti alumni ASRI. Dari sana, kampanye "Gandung Jogja Art Trip" menyebar ke banyak blog. Kendati belum banyak menghasilkan, Gandung boleh sedikit berharap. Jogja, yang memang dikenal sebagai kota seni(man), memungkinkan ide macam itu untuk dicoba.

Tukang becak lainnya tak seberuntung Gandung yang punya banyak teman seniman. Jika periode libur panjang masih jauh, mereka kadang bekerja serabutan. Ada yang menjadi kuli bangunan atau bekerja di sawah milik orang lain. Yang masih memiliki sawah bisa menyibukkan diri dengan bercocok tanam apa saja. Mereka kerap disebut sebagai tukang becak musiman. Jumlah mereka tak sedikit.

Arlen Sanjaya, pemilik pabrik Bakpia "25", biasa dipanggil oleh tukang-tukang becak di Malioboro dengan sebutan "Bos". Hubungan Arlen dan para tukang becak di Malioboro bisa menunjukkan seberapa penting arti tukang becak bagi pertumbuhan toko-toko souvenir, oleh-oleh dan cenderamata di seputaran Malioboro.

Tan Aris Nio, ibunda Arlen, merintis Bakpia "25" sejak akhir 1970-an. Arlen belajar dari mamanya dalam hal memanfaatkan jasa para tukang becak untuk mengembangkan Bakpia "25". Ketika bakpia buatan Nio mulai dikenal, ia selalu memberi hadiah satu atau dua batang rokok bagi tukang becak yang mengantarkan pembeli.

Pada 1995, sewaktu harga bakpia masih berada di kisaran Rp 2.500, Arlen untuk pertama kali menawarkan besaran komisi bagi setiap dus yang dibeli penumpang yang dibawa tukang becak yaitu 10%. Menyusul kemunculan pabrik-pabrik bakpia, Arlen mulai menghadapi kendala. Beberapa saingan berani memberi tips sebesar Rp 1.ooo per dus bakpia. Bakpia "25" dengan serta merta redup.

Arlen membalas dengan menyodorkan tips Rp. 1.500 dari harga per dus Rp. 2500. Tukang becak mulai berdatangan lagi ke tempatnya. Persaingan merebut hati tukang becak terus berlanjut. Sewaktu harga satu dus bakpia mencapai Rp. 5.000 tipsnya mencapai Rp. 2.ooo. Harga bakpia 6.000 rupiah, tips naik jadi Rp. 3.000. Persaingan merebut hati tukang becak berakhir menyusul munculnya krisis moneter 1997. Ketika itu harga satu dus bakpia mencapai 8.000 rupiah dan tips 4.000 rupiah. Di fase ini, usaha saingan Arlen merosot jauh. Arlen sendiri, hingga kini tetap berpegang pada tips sebesar 4.000 rupiah.

Tak ingin para tukang becak lari dari tempatnya, Arlen mulai membangun hubungan yang lebih intens dengan tukang becak, lebih dari sekadar soal tips. Sejak 2001, ia mulai membeli becak satu demi satu.

Siapa pun bisa menggunakan becak milik Arlen. Bukan sekali dua tukang becak yang menjual becaknya bisa kembali menggunakan becak yang sama. Semuanya tak perlu setoran. Jika ada komponen becak yang rusak, mereka cukup datang ke pabrik Bakpia "25". Anak buah Arlen dengan sigap mengurusnya.

Mereka hanya perlu menandatangani surat pernyataan yang berisi kesediaan menjaga dan merawat becak serta kesediaan mengembalikan becak jika dikehendaki oleh Arlen tanpa syarat. Yang menarik, dalam Surat Pernyatan, tak ada pasal yang mengharuskan tukang becak untuk membawa penumpang ke pabrik atau outlet Bakpia "25".

Kendati demikian, si tukang becak sadar mesti membawa penumpang yang hendak membeli bakpia ke pabrik atau outlet Bakpia "25". Jika membandel, anak buah Arlen yang tersebar di seantero kawasan Malioboro akan memeringatkan tukang becak itu.

Arlen juga selalu siap dimintai bantuan cat, kaos paguyuban, hingga uang konsumsi untuk rapat bulanan yang digelar paguyuban-paguyuban becak. Setiap lebaran, Arlen juga selalu membagikan bingkisan berupa sarung, sajadah hingga uang Rp 50.ooo. Bingkisan yang sama bisa didapatkan tukang becak yang tak menggunakan becak Arlen. Asal datang ke pabrik Bakpia "25" yang juga menjadi kediaman Arlen, bingkisan lebaran sudah disediakan.
Mestikah heran jika banyak tukang becak di Malioboro biasa memanggilnya: "Bos".

Di Malioboro juga muncul istilah "becak hotel", merujuk pada becak-becak yang biasa mangkal di depan hotel. Hotel-hotel berbintang di Malioboro biasanya menjalin kerjasama dengan paguyuban becak yang mangkal di depan hotel mereka. Paguyuban-paguyuban becak "hotel" memiliki tingkat soliditas yang lebih baik ketimbang paguyuban lainnya. Mereka memiliki aturan organisasi yang tertulis berikut sanksi-sanksi yang akan dikenakan jika anggotanya melanggar aturan.

Iuran bulanan dilaksanakan secara ketat dan lebih besar ketimbang iuran di paguyuban lain. Paguyuban becak Mulia Bumi Artha yang mangkal di gerbang selatan Hotel Inna Garuda, pernah memiliki saldo 26 juta rupiah. Dari saldo itulah mereka bisa membeli becak bagi semua anggotanya. Tukang becak dari Paguyuban Hotel Inna Garuda yang mangkal di gerbang utara Hotel Inna Garuda juga mampu membelikan semua anggotanya becak dari uang iuran bulanan.
Paguyuban Mulia Bumi Artha maupun "saudara tuanya" paguyuban Hotel Inna Garuda sama-sama menyimpan uang iuran di Bank Rakyat Indonesia.

Tingkat disiplin mereka patut dipuji. Siapa pun anggota yang datang tanpa mengenakan seragam, tak boleh mencari penumpang. Anggota juga dilarang meminta tambahan ongkos di luar kesepakatan awal dengan penumpang.
Pihak hotel bukan cuma mengizinkan mereka mangkal. Jatah cat untuk memperbaiki tampilan becak rutin diberikan, juga bingkisan hari raya berupa pakaian, sembako hingga amplop berisi 50 ribu rupiah. Jika hari raya, tukang-tukang becak di Malioboro lainnya bisa berkelimpahan bingkisan. Dari toko-toko souvenir dan oleh-oleh, semisal toko penjual kaos "Dagadu", toko batik "Luwes" di Rotowijayan atau Bakpia "25", mereka menerima bingkisan berupa barang maupun uang dengan besaran yang beragam, Rp 30.000-50.ooo.
Hotel Ibis bisa diajukan sebagai contoh bagaimana hotel di Malioboro memperlakukan paguyuban becak hotel laiknya karyawan. Manajemen hotel sering melakukan meeting bulanan dengan pengurus paguyuban becak untuk membahas banyak hal, terutama mengenai event-event yang akan digelar pihak hotel. Sejak tahun lalu, manajemen Hotel Ibis bahkan memberi beasiswa kepada tiga anak tukang becak dari paguyuban becak Hotel Ibis.

Dengan memberikan perhatian semaksimal mungkin, manajemen hotel berharap paguyuban becak yang mereka naungi bisa menjaga reputasi hotel dan bisa ikut memberikan layanan tambahan yang memuaskan kepada tamu hotel yang hendak pelesiran.

Manajemen hotel biasanya selalu merekomendasikan becak-becak dari paguyuban kepada tamu hotel. "Kami jamin tidak akan menipu, meminta ongkos tambahan di luar kesepakatan, menurunkan penumpang di sembarang tempat dan jaminan keamanan terhadap barang milik tamu yang tertinggal," kata Natalia Surbakti, Manajer Public Relations Hotel Inna Garuda.

Paguyuban becak bukan hanya dibentuk oleh becak-becak hotel. Ada puluhan paguyuban becak di Malioboro kendati mereka tak sesolid paguyuban becak hotel. Tidak sedikit paguyuban becak di Malioboro yang hanya mengurusi kapling tempat mangkal. Iuran anggota pun sudah tak jalan di beberapa paguyuban. Misalnya, paguyuban becak Benteng Vredeburg. Data Dinas Perhubungan Kota Jogja 2006 menunjukkan ada 142 paguyuban becak di wilayah kota Jogja. Jumlah terbanyak berada di Malioboro. Masing-masing paguyuban mengorganisir becak-becak di satu lokasi tertentu. Khusus di Malioboro, nyaris semua titik di sepanjang Malioboro sudah dikapling sebuah paguyuban.

Pembagian area operasi dan mangkal ini memungkinkan sesama tukang becak tahu di mana ia boleh menawari penumpang dan di mana ia tak boleh melakukannya. Aturan tidak tertulis ini tidak sekaku yang dibayangkan. Tukang becak dari area lain boleh saja menawari dan mengangkut penumpang di luar area mereka, tetapi biasanya mesti menunggu giliran di belakang kelompok tukang becak "pemilik" kapling.
Selama saya berada di Malioboro, saya tak pernah melihat ada pertengkaran atau rebutan penumpang di antara sesama tukang becak. Namun, saya sering mendengar cerita pertengkaran antara tukang becak yang kadang berakhir dengan perkelahian.

Biar bagaimana pun kehidupan di Malioboro tidak berbeda dengan kehidupan jalanan di tempat lain. Hidup jauh lebih keras. Saya mendengar refleksi macam itu dari mulut Slamet, ketua paguyuban becak Benteng Vredeburg.


(terimakasih:)

Tukang Becak pun Ingin MELEK Bahasa Inggris



“Sabecik-becike manungsa yaiku kang migunani tumraping liyan”.

Filosofi itulah yang membuat kami begitu yakin untuk merintis pengabdian masyarakat ini.

***

Yogyakarta—sebuah kota seni dan budaya yang tiap sendinya tak pernah sepi dari denyut wisata. Dan Malioboro adalah salah satunya. Areal wisata belanja yang unik hingga tak pernah terlewatkan oleh mata wisatawan.

Berbicara tentang Malioboro tentunya tak terlepas dari pedagang cinderamata di sepanjang jalan Malioboro dan juga tukang becak yang kesehariannya berhubungan dengan wisatawan. Tidak dapat dipungkiri bahwa tukang becak merupakan motor penggerak roda pariwisata Malioboro. Oleh karena itu kualitas pelayanan yang mereka berikan terhadap wisatawan menjadi sangat signifikan dan dijadikan salah satu tolak ukur penilaian wisatawan terhadap Malioboro. Hal ini akan memberikan pengaruh pada banyak pihak, baik bagi tukang becak dan pedagang kaki lima sendiri maupun pada wisata Yogyakarta dan Indonesia.

Di sisi lain, persiapan pemerintah memasuki Visit Indonesia Year 2008 ini dapat dikatakan masih setengah matang. Wisata Indonesia masih perlu banyak bersolek dan mempercantik diri. Perbaikan dan penambahan sarana dan prasarana yang mendukung pelayanan wisata pun belum menyeluruh. Di samping itu, peningkatan kualitas sumber daya manusia yang bersentuhan langsung dengan dunia pariwisata belum tersentuh. Apalagi pegiat wisata seperti tukang becak, andong, penjual cinderamata, ataupun perajin barang-barang seni.

Pencanangan program Visit Indonesia Year (VIY) 2008 tentu saja menuntut agar seluruh sektor yang berkaitan dengan dunia pariwisata harus siap memberikan pelayanan yang terbaik (top service) bagi wisatawan. Bahasa yang merupakan pengantar dalam interaksi merupakan bagian penting yang perlu disoroti dalam kaitanya dengan pelayanan wisata Malioboro. Alasannya adalah karena pengunjung Malioboro tidak hanya wisatawan domestik tetapi juga wisatawan dari berbagai negara.

Jika para tukang becak dan pedagang kaki lima dapat lancar berbahasa Inggris hal ini akan menyebabkan posisi tawar (bargaining position) mereka di mata wisatawan mancanegara menjadi tinggi. Sehingga banyak turis mancanegara yang akan tertarik untuk menggunakan jasa mereka atau membeli barang yang mereka jual. Sementara itu fakta di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar tukang becak tidak menguasai Bahasa Inggris dan keadaan ekonomi mereka pun tidak memungkinkan untuk mengambil kursus Bahasa asing.

Oleh karena itu, kami merasa sangat perlu “mbabat alas” Malioboro dengan berbagi pengetahuan Bahasa Inggris. Tema yang diangkat dalam pelatihan ini adalah “English for Better Life”. Dengan maksud bahwa pelatihan ini diharapkan dapat memberikan bekal pengetahuan bagi tukang becak untuk menjalankan pekerjaannya secara lebih profesional sehingga dapat menjadikan kehidupan tukang becak, kondisi pariwisata Yogyakarta dan Indonesia menjadi lebih baik.

Ibarat gayung bersambut, niatan ini ternyata mendapat tanggapan yang luar biasa dari tukang becak di kawasan Malioboro. Mereka tertarik untuk mengikuti pelatihan ini dan sadar akan kebutuhan Bahasa Inggris. Pelatihan ini diikuti oleh 18 tukang becak yang biasa mangkal di kawasan Malioboro. Volume kelas dari pelatihan ini memang sengaja dibuat ramping dengan tujuan untuk keefektifan kegiatan belajar mengajar.

Program pelatihan akan dilaksanakan selama satu bulan mulai tanggal 18 April sampai 10 Mei 2008. Pelatihan dilaksanakan seminggu dua kali setiap hari Jumat dan Sabtu. Jumat (21.30-23.00) dan Sabtu (22.00-23.30) bertempat di aula Baparda DIY. Tentor terdiri dari seorang tentor utama, 4 asisten tentor, dan 2 penutur asli Bahasa Inggris. Materi yang diberikan kepada peserta pelatihan adalah “English for Becak Drivers” yang komposisinya disesuaikan dengan kebutuhan Bahasa Inggris tukang becak.

***

Program Pelatihan Bahasa Inggris Praktis untuk Tukang Becak di Kawasan Malioboro ini merupakan Program Kreativitas Mahasiswa Bidang Pengabdian Masyarakat (PKMM) mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta tahun 2008 yang proposalnya disetujui dan didanai oleh Dikti.

Dalam pelaksanaan program ini kami menggandeng Badan Pariwisata Daerah Provinsi DIY untuk ikut serta berupa kerjasama penyediaan tempat dan perlengkapan pelatihan. Pada tahun-tahun mendatang, diharapkan program ini dapat menjadi program kerja dari Baparda, Dinas Pariwisata, Pemda, serta pihak-pihak terkait. Sehingga seluruh tukang becak khususnya tukang becak wisata di Yogyakarta dapat mahir berbahasa Inggris.

Sambung Rasa Pengemudi Becak Wisata malioboro


adalah sebuah malam percakapan...
mempertemukan keluarga yang lama tak bertemu, untuk njagong, berbagi tentang apa yang mereka punya...

mengundang para pengemudi becak wisata di kawasan Malioboro
menghadirkan mereka yang seharusnya hadir...
untuk diajak rembugan,

tunggu tanggal mainnya,


pengemudi becak jaya!

pengemudi becak wisata malioboro, yes yes yes....!!!

Monday, May 12, 2008

Mbabat Alas



berangkat dari sebuah keyakinan--filosofi--bahwa "sa becik-becike manungsa yaiku wong kang migunani tumraping liyan"...
kami pun menghuni malam-malam Malioboro bersama para tukang becak(pengemudi becak) yang matanya tak pernah lelah membaca...
mencoba sedikit berbagi tentang apa yang kami punya...
kami,
Oktafina Dewi Kurnianti
Retno Arini
Ria Cahyanti

dan tangan-tangan baik hati yang menepuk pundak kami,
hingga....cita-cita ini dapat dirintis(dirintis--bukan terwujud)..
karena perjalanan kami masih sangat panjang,
perjalanan panjang :mbabat alas Malioboro

sebagai awalan, kami melakukan pelatihan bahasa inggris praktis untuk tukang becak yang meminjam gedung Baparda DIY mulai 18 April hingga 10 mei 2008...

Pakdhe,,, You can speak English well!!!!
Semangat nggeh

"Daripada memandang sejarah, lebih baik menciptakan sejarah (kincuk, pengemudi becak paguyuban Bumi Mulia Artha)"